(Suara Indonesia, Minggu, 3 Nopember
1985)
Kira-kira 6 Kilometer ke arah selatan
dari bendungan Karang Kates setelah melewati hutan jati, sampailah di
Desa Kopral/Sukowilangun, Kec. Kalipare, Kabupaten Malang. Desa yang
cantik dan ramah.
Di rumah kayu gaya Jawa Timuran versi
“tempoe doloe” dalam ukuran besar menurut porsi kota, seperti
bersila menghadap pelataran yag gilar-gilar baru disapu.
“Monggo...” terontar sambutan dari
pemilik rumah ketika penulis ber-“kulo nuwun” sembari mengagumi
teduhnya rumah kayu yag terhindar dari lilitan kabel listrik.
Mbah Putri (nyonya rumah) seraya
terhuyung-huyung karena usia, membukakan pintu menyambut sungkem
tamunya, penuh keibuan.
Di sudut kanan ruang, sebuah
balai-balai besar difungsikan sebagai tempat menyimpan seperangkat
gamelan besi tua yang penuh riwayat. Perabot lainnya juga keriput
tua, sedang lantainya tanah saja.
Dua sudut yang lain tumbuh dengan segar
bunga Sri Rejeki dalam pot kuali merupaka aksentuasi dari suasana
keseluruhan atau mungkin menyimpan beberapa ungkapan simbolis
tertanam di situ. Langsung terasa “mysteri space” khas rumah jawa
dalam arsitektur “ramah” namun remang, sejak dan mampu membuat
kerasan pihak tamu yang bertandang.
Bergairah...
Mbah Widji (93) guru tari, dalang,
pengrawi yang juga sesepuh kesenian Topeng Malangan keluar dari kamar
“Pasideman” dengan senyum khas seorang seniman tua.
Pada mulanya ia menanggapi biasa-biasa
saja. Boleh jadi penulis dianggap mau berurusan denga pertanian atau
kesehatan. Setelah memfokuskan pembicaraan mengenai topeng dan
pedalangan, tiba-tiba gairahnya tampak “pasang” bagai tersentil
benang kebekuannya. Mata yang kuyu itu semakin cerah, sebinar kopi
panas yang baru dihidangkan Mbah Putri.
Sambil entah berapa kali menawarkan
kopinya, dia berkisah dengan gaya pedalangan, sisa kemampuan yang
masih dimiliki. Kakek ini tampak berusaha keras memerangi ketuaannya.
Semangat mudanya mencuat. Bicaranya merocos enak di dengar. Bisa
dipastikan bahwa masa mudanya memiliki volume suara dominan bariton
yang mampu menjangkau berbagai warna suara dominan bariton yang mampu
menjangkau berbagai warna suara para pelakon yang didalanginya. Dia
seseakali berdiri di samping kursi dan mempergakkan elemen gerak
“wukel gelung” atau “sabetan patih”, mash tampak bekas-bekas
kelenturan tubuhnya yang menawarkan getaran sebagai refleksi gerak
dari dalam, di luar kesadarannya. Segala tingkah tampak hidup penuh
makna sebab menyertakan “roh” sebagai inti gerakan.
Sesekali Mbah Widji, diam seperti
mengingat sesuatu, dan tiba-tiba lihatlah dia membuat sikap “tanjek”
(kuda-kuda dalam istilah silat), mengangkat kaki, merentangkan tangan
dalam siku-siku penuh perhitungan, undur sedikit, tancap ke depan
penuh emosi disertai kibasan tangan kiri bagai membuang sampur.
Sungguh mantap gerakan seniman tari berumur lanjut ini.
Penulis menilai, dialah Ken Arok dengan
selendang panjang meililit leher yang ujungnya meraba tanah sambil
menghunus keris di hadapan lawan, dengan sekali hentakan buyarlah
dada musuhnya.
Pada 1917, yaitu 68 tahun yang lalu,
dia mulai berlatih menari pada Mbah Reni yang “cikal bakal” tari
Topeng Malangan, dan Widji muda lagsung menjadi murid kesayangan,
karena kecakapan, juga karena postur tubuhnya yang artistik.
Dalam “Akademi Mbah Reni” dia
mempelajari tiga jenis pakem cerita yag harus dikuasai yakni Pakem
Kediri (cerita Panji dan Dewi Sekartadji), Pakem Mojopahitan (Cerita
Damarwulan dan Kenconowungu), Pakem Layang Menak (Cerita Umar Amir).
Dengan lahap Widji muda dan
rekan-rekannya kala itu mengunyah segenap pelajaran, baik raga maupun
spiritual, kemudian melebur keseniannya ke dalam hidup yang menyatu.
Dan ternyata hal di masa muda itu bertahan sampai tua. Satu bukti
kesetiaan yang tangguh, dimana kehidupan, kesenian dan disiplin
beragama luluh menjadi satu tanpa bingkai terpisah.
Pada tahun 1925, setelah sewindu
menempa ilmu, serasa kejatuhan bulan. Karena sempat berpenta di
Cadipuro, Pasirian, ketika dalang yang seharusnya bertugas mendadak
sakit keras dan sebagai pengganti dipilihnya Widji, yang ternyata
mampu menjalankan tugas dengan sempurna.
Saat itu pula Mbah Reni “Mewisudanya”
sebagai dalang yang sah. Kala itu predikat dalang bukan dipilih atas
dasar ketrampilan saja, tapi juga kearifan sebagai manusia dalam
merangkul kesenian.
Menurut Mbah Widji, pernah di suatu
malam Belada datang mengangkutnya ke tangsi Gampingan dekat Kepanjen
(1927) rasa was-was sudah pasti ada.
Sampai di tempat kekhawatiran Widji
jadi hilang, karena ternyata malah diminta melatih tari para serdadu
Belanda.
“Tentu saja saya bersedia, karena
urusannya adalah tari bukan perang. Apa boleh buat seandainya setelah
menari kemudian perang lagi. Lagi pula benci saya sama si bule itu
kepati-pati!” ucapnya.
Masa Surut...
Seputar tahun 1940-50-an hampir tiap
malam kelompok topeng Mbah Widji mengadakan pementasan di berbagai
pelosok Jawa Timur. Dalam perjalanan itu dia menanam andil besar demi
menggugah kesadaran berkesenia kepada masyarakat yang dilewati, bagai
menyebar “pamflet seni” dalam mewarnai hidup.
Terbukti dalam
dekade tahun itu banyak bermunculan berbagai jenis kesenian
tradisional dengan suburnya. Kenangan yang dirasa mendalam adalah
ketika diundang pentas ke pendopo kanjengan (kabupaten) Malang
semalam suntuk pada tahun 1945.
Namun pada akhir tahun ’60-an jadwal
pementasan Tari Topeng mulai surut, dan nyaris gulung tikar. Kadang
hanya pentas satu kali dalam setahun, itupun untuk memperingati hari
besar nasional.
Untunglah, Mbah Wdji dalam usia lanjut
ini, masih mampu menghimpun kelompoknya walau dalam kegiatan “gladen”
secara berkala, walau dengan jumlah anggota yang kian menyusut.
“Saya ingin, pelataran yang kosong
itu (sembari menunjuk halaman rumah) penuh dengan anak-anak belajar
menari di saat terang bulan seperti dulu,” kata Mbah Widji yang
masih suka nembang di tempat tidur ini.
Penari-penari muda di Malang, menurut
Mbah Widji, yang pernah sambang sehubungannya dengan tari adalah Hari
Bedali dan Chattam mereka ini dianggap sebagai cucu kakek ini.
“Kapan cucu yang lain mau sambang ke
sini? Rumah ini tak seharusnya kosong begini,” ujarnya tulus.
Konon salah seorang bocah di desanya
pernah bercerita bahwa di TV sering muncul Tari Topeng Malangan
dengan pakaian bagus-bagus.
Kabar itulah yang membesarkan hati Mbah
Widji, dan dibuat patokan bahwa di antara sejumlah remaja sekarang
menari topeng, artinya tari jenis ini bakal langgeng selamanya.
[Yudhi Sidharta]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar