Rudolf Puspa.
Teater Keliling - Jakarta
Persiapan
seorang aktor/aktris
Karya seni
teater adalah hasil kerja kolektif. Mulai dari sutradara, pemain, musikus,
dekorator, make up, tata cahaya, penerima tamu, penjual tiket, keamanan dan
juga penonton. Seorang pemain tidak bisa menciptakan hasil karya yang bagus
sendirian. Jadi langkah pertama bagi seorang pemain adalah berada dalam seluruh
kegiatan teater dalam kondisi fisik yang optimal serta jiwa yang tenang dan
peka.
Dalam mempersiapkan
diri menjadi pemain yang siap memerankan sebuah peran maka langkah awal adalah
menggunakan waktu dan energinya untuk menyiapkan hal hal yang berada di bawah
kontrolnya. Misalnya suara, postur, kesehatan jasmani dan rohani, kemampuan
bekerjasama dengan teman bermain, kepekaan menangkap kehidupan di dalam diri
dan sekitarnya.
Untuk itu
beberapa hal perlu mendapat perhatian untuk disiapkan sebaik mungkin :
1.
Teknik.
Dalam
segi teknik acting bisa dibagi dua yakni action dan moment. Action adalah proses
fisik untuk mencapai tujuan. Moment adalah apa yang terjadi dalam adegan adegan
yang dimainkan oleh seorang pemain teater.
2.
Action.
Berakting
artinya ada action. Berakting berarti ada tindakan. Biasaya tindakan disertai
ada dialog. Jika hanya ada tindakan tapi tak ada dialog dinamakan “silent
acting” Ini tindakan yang justru sangat sulit sebab jika tidak tepat bisa
dikatakan mencuri adegan.
Beberapa
catatan mengenai acting:
a.
Bisa dilakukan secara fisik.
b.
Fun.
c.
Spesifik.
d.
Ada tujuan kepada lawan main.
e.
Bukan “kiriman paket”
f.
Tidak tergantung kondisi emosi atau
fisik tertentu.
g.
Tidak manipulatif
h.
Punya ending
i.
Sesuai dengan karakter peran.
Penjelasan sebagai berikut:
a.
Bisa dilakukan secara fisik.
Misalnya
adegan “minta tolong” tentu bisa di aktingkan. Tapi adegan “mengejar cita cita”
bagaimana meng aktingkannya?
b.
Fun.
Acting
harus terasa menyenangkan dilihat penonton. Akting tertawa misalnya, bukan
dibuat buat tapi memang pemain benar benar tertawa yang sesuai karakter peran
tentunya. Akting tertawa sering justru menjadi acting yang sulit. Jadi acting
perlu dilatih agar bukan merupakan tindakan yang justru menyakitkan penonton
kecuali memang ada kekhususan dari ide sutradara.
c.
Spesifik.
Acting
memiliki motifasi yang spesifik sesuai karakter peran. Misalnya mencari
informasi. Jadi spesifikasinya adalah “mencari informasi” Misalnya “gosip”. Bagaimana pemain actying
peran yang sedang gosip politik. Maka spesifikasi inilah yang menjadikan
kekuatan acting.
d.
Tujuan action kepada lawan main.
Setiap
acting harus ada tujuannya. Tujuan pertama adalah terhadap lawan main. Dengan
demikian pemain harus memiliki fokus kepada lawan main agar setiap actingnya
mendapat respons dari lawan main. Demikian pula sebaliknya actingnya adalah
respons dari acting lawan mainnya.
e.
Bukan kirim paket.
Ini
merupakan kelemahan terbesar acting. Begitu selesai dialog dnegan lawan main
langsung “selesai”. Ia akan menjadi peran yang mati di panggung. Mati karena
nganggur. Seharusnya setelah dialog selesai maka perhatikan apa jawaban lawan
main sehingga masih akan ada respons yang muncul yang sering disebut “silent
acting”. Maka seorang pemain tidak akan pernah selesai beracting sepanjang
pertunjukkan, bahkan ketika berada di luar panggung menunggu waktu muncul.
f.
Tidak tergantung kondisi fisik atau
emosi lawan main.
Sering
seorang pemain menjadi tidak hidup ketika ia ber akting menenangkan kegelisahan
peran lawannya sementara lawannya tidak acting gelisah. Maka pemain mesti mampu
merubah keadaan yakni dengan acting “memabngun kepercayaan diri” lawan main.
Maka actingnya pasti akan lebih hidup karena dia tidka tergantung pada emosi
atau fisik lawan mainnya, namun justru ia membangun keadaan lawan mainnya.
Tentu akan lebih baik jika lawan main memang bisa memberikan permainan yang
sesuai peran yang akan direspons lawan mainnya.
g.
Tidak manipulatif.
Ketika
adegan memiliki motifasi dan tujuan agar sebuah kesedihan yang tercipta
menimbulkan lawan main menangis, maka ketika seorang pemain berusaha berakting
agar lawan main memangis justru merupakan sebuah tindakan yang
manipulatif. Tapi buatlah akting untuk
mengajak teman main tersebut menghadapi kenyataan yang memang penuh kesedihan.
Jika tema main menangis maka keadaan itu adalah merupakan reaksi yang jujur dariu
batinnya. Ia menangis bukan karena di manipulatif atau direkayasa. Akting
adalah sebuah kejujuran.
h.
Punya ending.
Setiap
akting tentu punya ending. Misal keadaan peran sedih menangis hingga mengamuk.
Namun adegan tersebut tentu ada akhirnya. Kapan berakhir secara tepat inilah
akting yang berhasil. Maka pertunjukkan tidak terasa di panjang-panjangkan.
Akting pemain juga tidak terasa mengada ada hanya karena ingin berlama lama di
atas panggung sehingga membuat akting akting yang mubasir aja. Ini ada
hubungannya dnegan kemampuan menakar akting. Jadi harus ada gradasi dan waktu
dalam perubahan dari akting ke acting selanjutnya. Berubah namun tetap dalam
satu irama yang tidak terputus putus.
i.
Sesuai karakter peran.
Pemain
harus mengenali karakter peran baru akan mencari, menggali di dalam dirinya atau
di luar dirinya untuk menemukan acting yang tepat dengan perannya. Ini akan
menghindari acting yag disebut “manarism” artinya main peran apa saja actingnya
ya begitu begitu terus. Cating marahnya
seorang tentara tentu beda dengan seorang dokter misalnya.
3.
Bagaimana caranya memilih action yang
tepat untuk melakukan sebuah adegan? Mari kita coba dengan beberapa cara:
a.
Pemain perlu bertanya “apa yang
dilakukan karakter?”
Maka ia
perlu menjawab seharafiah mungkin. Maka darti berbagai kemungkinan akting maka sang
pemain perlu mencari satu hal yang spesifik yag meliputi seluruh dialog. Misal
seorang peran sedang mencari rokoknya. Ia pegag saku, lalu amsuk kamar, buka
laci meja, mengambil bungkus rokok lalu membuka ambil sebatang lalu ambil korek
api dan lalu menyalakan rokok dan menghisapnya. Maka spesifikasi actingnya
adalah “merokok”. Jadi semua laku tadi adalah menggiring adegan ke acting
“merokok”.
b.
Apa inti dari acting peran?
Misal
peran seorang pemain sepakbola sedang merayu penyanyi cantik agar putus dengan
pacarnya yang pemain badminton. Jadi action intinya adalah “membujuk”. Maka
sepanjang adegan baik lewat dialog dan tindakan adalah dalam aksi “membujuk”
tadi.
c.
Apa ada kemiripan dengan hidup pemain?
Mencari
kejadian kejadian dalam diri yag pernah dialami yang keadaan emosinya
menyerupai atau mendekati suasana emosi peran yang sedang dimainkan. Maka akan
dnegan mudah menemukan acting yang tepat bagi perannya.
Contoh sebuah adegan:
Seorang suami berusaha memohon istrinya
pulang kerumah.
1.
Apa yang dilakukan si karakter?
Berteriak memelas memohon istrinya
pulang. Artinya actingnya adalah berteriak.
2.
Inti actionnya apa? Memohon maaf pada
orang yang paling dicintai agar segera pulang.
3.
Apa ada kemiripan dalam hidup pemain?
Suatu hari misalnya si pemain pernah memecahkan vas bunga kecintaan ibunya,
lalu ibunya marah dna mengusirnya. Maka agar dia boleh kembali kerumah ia
berusaha memohon maaf atas tindakannya yang buruk.
Jadi
suasana emosi ketika minta maaf kepada ibunya dapat dipakai untuk acting meminta
maaf kepada istrinya.
Jika
dalam diri tak ketemu maka bisa mencari keluar dan ini yang dinamakan
observasi.
Dari ketiga cara untuk mendapatkan
acting yang terbaik dan tepat bagi karakter yang dimainkan, maka ketika mencari
kedalam pengalaman pribadi harus benar benar selektif dan bukan justru hanya
menguras pengalaman batin yang justru menjadikan acting berlebihan dari
porsinya. Misalnya adegan kematian akan berbahaya bila menggali pengalaman
ketika misalnya ibunya memang benar benar wafat dengan cara yang buruk. Jika
memainkan peran yang umurnya lebih dari umur pemain tentu harus mencari diluar
dirinya. Atau menjadi intel yang menyusup ke daerah perang, tentu saja perlu
banyak observasi ke lingkungan militer. Dari ngobrol dengan mereka akan banyak
menemukan acting yang ini merupakan fantasi namun sebuah acting fantastis yang
menarik sehingga penonton melihat sang pemain adalah benar benar seorang intel.
4.
Hidup
dalam moment.
Tugas
utama dalam akting adalah memvisualisasikan apa yang terjadi pada saat
pertunjukka berlangsung. Bukan kejadian kemarin atau besok lusa. Jadi apapaun
yang terjadi ketika berada di panggung harus dihidupkan dalam setiap akting
pemain.
Misalnya
seorang pemain sedang akting menyelinap ke sebuah ruanga. Ketika membuka pintu
ternyata pintu tersebut berderit. Pada saat itu jika pemain pura pura tidak
dnegar atau acuh karena suara berderit tidak ada selama latihan atau tidam
tertulis dalam naskah, maka penonton akan melihat bahwa akting pemain tidak
hidup, tidak realistik. Jadi pemain harus punya daya imprivisasi dalam
menghadapi apapun yag terjadi di atas panggung, apalagi jika tidak pernah ada
sepanjang latihan atau tak tertulis di naskah. Dalam tempo kurang dari satu
detik pemain harus menanggapi secara tepat dan tidak berlebihan.
Contoh
lain ketika peran harus marah untuk menyadarkan peran lawan main. Tapi lawannya
tidka membuat akting yang membuatnya marah. Jika pemain tetap saja marah marah
maka akan terlihat aneh dan menimbulkan pertanyaan kenapa marah marah? Maka
akting marahnya jadi akting palsu, di buat buat saja. Jadi harus mampu
memancing atau mengarahkan lawan main agar peran marahnya sesuai dengan keadaan
lawannya. Ini memang tidka mudha tapi itulah kehebatan pemain yakni mampu
mengatasi situasi yang sedang terjadi.
Jadi
seorang pemain harus mampu menyensor situasi di panggung pada saat bermain.
Itulah arti memahami dan melakukan moment yang tepat di panggung. Misalnya adegan minta maaf dilakukan dengan
teriak karena memang keadaan lawan main memancing untuk itu dan adegan justru
menarik dan penonton tersentuh batinnya; maka itu akting yang mampu hidup dalam
moment yang sedang ada. Oleh karenanya
jangan berpikir di atas panggung, tapi rasakan suasana dan langsung beracting
saja.
5.
Penunjang external.
Ada 3
jenis penunjang akting yang dari hal hal external:
a.
Penyesuaian tubuh. Mislanya postur,
suara, aksen, cacat tubuh.
Bila si
pemain harus bicara dengan aksen Madura misalnya, maka ia harus benar benar
kenal dan mempelajari aksen secara mendetail sehingga ia fasih berbicara dengan
aksen Madura.
Kalau ia
memainkan peran dengan kaki pincang maka ia harus benar benar belajar
menggerakkan kaki yang pincang. Seberapa extrem pincangnya. Pincang sejak lahir
atau karena kecelakaan dsb. Jadi benar benar harus diperhitungkan secara matang
dan kaya akan observasi.
Yang
selalu harus diingat adalah jangan berlebihan. Penonton akan haya melihat
permainan pemain dna bukan alat bantunya.
b.
Ornamen. Misalnya costume, make up,
property. Pemain harus mengenali semua ornamen yang ada di tubuhnya. Bahwa
wajahnya tua , bahwa wajahnya cantik, bahwa tubuhnya pakai costume gembel,
bahwa kepalanya pakai mahkota, bahwa ia pakai gelang, pakai sepatu dsb harus
benar benar terasa memang itu adalah pakaiannya, asesorisnya, ketuaannya, kecantikannya
yang bukan barang tempelan. Oleh karenanya latihan dnegan menggunakan ornamen
tersebut sesering mungkin dirasa sangat perlu.
c.
Keadaan fisik.
Yang
paling sulit adalah ketika pemain menggambarkan keadaan fisik perannya sering
harus dilakukan tanpa keadaan sesungguhnya. Misalnya keadaan fisik yang sedang
mabuk, yang kakinya luka berat, yang wajahnya robek dan harus dijahit, yang
dadanya sesak nafas. Keadaan fisik yang sedang kedinginan, kepanasan dsb. Maka
pemain benar benar harus mampu melakukan akting tangan yang kesakitan, cara
jalan orang mabuk, dada sesak nafas, kedinginan atau kepanasan. Latihan harus
banyak agar semua itu menjadi sesuatu yang sudah biasa. Maka ketika main di
panggung konsentrasinya bukan lagi kepada keadaan fisik tersebut tapi pada
suasana peran yang sedang terjadi. Tanda pemain mampu melakukan acting yang
bagus adalah ketika insting, rasa, mengalir tanpa harus melewati sensor dirinya
sendiri. Daya “rasa” iniolah kekuatan yag paling dahsyat untuk menyentuh jiwa
penonton. Penonton yang tersentuh akan tanpa dia sadari seluruh perhatiannya
mengikuti setiap acting para pemain sejak mula hingga berakhirnya pertunjukkan
teater.
6.
Kesimpulan.
Dengan
kemampuan menganalisa peran dalam naskah secara tepat maka pemain sudah
melakukan tugasnya hampir separo dari kegiatan berkaryanya.
Saat
saat latihan adalah waktu yang tepat untuk berexperimen dengan bermacam macam
gaya, berbagai bentuk akting untuk menemukan yang paling indah dna tepat sesuai
perannya. Jangan bosan untuk setiap hari latihan mencoba berbagai barang bagi
actionnya. Berbagai suara untuk perannya. Berbagai bentuk fisik untuk perannya.
Setelah
hari hari latihan selesai dijalani dan telah siap menemukan acting yang terbaik
dan menjadi biasa dalam diri pemain maka pada hari pertunjukkan sang pemain
tinggal melakukan persiapan yang baik. Persiapan yang terbaik adalah sejak pagi
bangun tidur di hari pertunjukkan sudah mulai konsen pada perannya. Jika masih
pelajar atau pekerja maka selama di sekolahan atau di tempat kerja usahakan tidak
lepas dari perannya; tentu tidak berlebihan, tidak mengganggu suasana belajar
atau bekerja. Selanjutnya ketika sampai
tempat pertunjukkan konsentrasi ditambah lebih terarah. Apalagi ketika sudah
memakai make up dan costume. Suasana diam adalah hal yang terbaik. Hal ini bagi
pemula bisa disiapkan bersama dibawah pimpinan asisten sutradara. Jika sudah
profesional biasanya punya cara tersendiri yang snagat indoividual dalam
mempersiapkan dirinya. Namun yang terbaik adalah dalam keadaan “diam”. Hal ini
akan menjaga mubasirnya energi yang akan mengurangi “power” pemain. Oleh karenanya sering diperlukan seorang stage
manager yang harus berani tegas menata aturan main ini. Sering ada rasa nggak
enak jika ada teman atau keluarga yang ingin ketemu. Tapi sebaiknya ini
dihindari karena buang tenaga. Jika perlu alat komunikasipun dihentikan dan
komunikasi harus lewat satu tangan yakni stage manager. Dia yang akan memilih
dan memilah mana yang perlu diberi kesempatan atau tidak. Namun pemain
profesional sehartusnya tau menjalani disiplin teater seperti ini sehingga tak
perlu diawasi orang lain.
Selanjutnya
pemain siap di tempat dimana ia akan memulai adegannya. Lalu dengan tegas
mengatakan pada dirinya “action”, “aku adalah............” maka pertunjukkan
benar benar memukai memikat dan menggerakkan penonton sehingga ketika pulang
membawa pencerahan, pemikirna baru dalam menjawab kehidupan yang sedang
berlangsung.
Itulah
“teater yang berbicara”
Selamat
berlatih.
Jakarta
17 Juli 2011.
Dari
bahan studi acting teater keliling 1976.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar