Minggu, 12 Mei 2013

Wayang dalam Dunia Topeng Malang (bag 4)




Oleh Onghokham
Rombongan topeng wayang yang lazim terdiri dari penari laki-laki. Tidak ada wanita, peran perempuan diambil oleh penari laki-laki. Selain penari individu tidak memiliki peran tetap. Rombongan ini terdiri dari lima penari dewasa dan sembilan penari anak-anak, berumur empat tahun hingga remaja.
Rombongan penari wayang selalu memiliki anak yang berasal dari desa yang sama dengan orang dewasa. Mereka termasuk dalam rangka untuk lulus pada tradisi teater untuk generasi muda. Seluruh rombongan termasuk musisi, pembantu, dan gantungan berjumlah sekitar 25 orang. Pemimpin rombongan topeng adalah roh dan tiang kelompok. Dia adalah pemimpin produksi, dalang, satu set topeng, gamelan, dan pemilik kostum.
Di Jabung ada seorang pria bernama Kangsen. Dia tinggal di salah satu rumah batu terbesar dan pemilik tanah juga. Dia memiliki tjikal-bakal (pendiri keluarga) dari djabung dan memiliki reputasi. Dia berpikir untuk memiliki beberapa suci kekuasaan atau dalam hal apapun untuk menjadi dukun yang bisa dipanggil untuk melakukan ritual di upacara ruwatan.
Kangsen sangat sadar hal-hal ini, dia suka untuk menegaskan posisinya di daerah tersebut. Dia menyatakan bangga bahwa setiap saat ia menjadi lurah, ia bisa melakukannya. Namun, ia tidak merasa seperti menghabiskan banyak uang untuk kampanye pemilu.
Kangsen selalu menganakan pakaian hitam: celana hitam lebar, sabuk kulit yang luas di sekitar pinggang, jaket hitam longgar atas putih. Ia memiliki tubuh langsing seakan memberikan kesan kekuatan batin, dan tidak pernah tersenyum. Ia berhasil memimpin kelompoknya secara efisien dan mengawasi setiap masalah teknis atau artistik tanpa rewel meskipun Topeng Malang anggotanya cenderung menjadi primadona dan melihat diri mereka lebih sebagai mitra dalam topeng wayang daripada sebagai orang di bawah kepemimpinan Kangsen itu.
Itu bukan kebetulan bahwa Kangsen terlibat dalam bisnis topeng. Seperti biasa terjadi di dunia seni Jawa, ia mewarisi posisinya. Ayah Kangsen berasal dari desa Polowijen dan saudara Mbah Reni, pemimpin topeng paling terkenal dan mengharumkan nama desa Polowidjen.
Pelindung Mbah Reni adalah R.A.A. Soeria-Adiningrat, Bupati Malang yang disebutkan sebelumnya. Mbah Reni punya saudara lain bernama Nita, yang juga pemahat wayang kulit. Seperti Mbah Reni atau Nita meninggalkan Putra. Kedua kerabat tersebut sama-sama menekuni hal yang sama. Terlepas dari itu, beberapa keluarga bisa juga tidak akur karena urusan pribadi, Kangsen melakukan bisnis karena merupakan urusan keluarga dan atas kerjasama keluarga.

Tjikar milik Kangsen disewa untuk mengangkut kelompok wayang topeng dari saudaranya. Demikian Kakak Ipar Kangsen menyewa bahan Kangsen untuk tahap sementara pertunjukan wayang Purwa. Kostum wayang Topeng diperbaiki oleh dalang wayang Purwa dengan bantuan kedua istri.
Gamelan Mbah Reni yang memberikan ketenaran mereka, karena Kangsen bukanlah pemahat topeng yang terkenal. Namun demikian, keluarga memiliki lebih atau kurang monopoli atas seni pertunjukan, istrumen, bahan, ketrampilan artistik menari, dalangship, dan ukiran telah diturunkan dalam keluarga dari generasi ke generasi.
Kangsen menawarkan rumahnya untuk latihan dari rombongan dan menyediakan mereka kopi, teh, dan kadang-kadang cookie. Pada tahun 1963 rombongan topeng mendapat sekitar Rp 8 ribu per kinerja dan dua kali makan serta ketentuan lainnya dari siapapun yang menanggap mereka. Dari jumlah ini Kangsen memperoleh bagian terbesar dan dalang bagian terbesar berikutnya, jika Kangsen bukan dalang sendiri.
Jika kinerja diadakan di desa mereka sendiri, nampan disiapkan di sela-sela penonton. Biasanya terdapat 150 orang penonton dewasa untuk mengumpulkan pembayaran. Para penari dewasa biasanya hanya punya biaya tanda terima Rp 50 atau kurang, dan penari anak punya apa-apa kecuali makan penuh sebelum dan setelah kinerja.
Para anggota dewasa dari rombongan itu merupakan petani di daerah Djabung, kecuali dua orang buruh dari kangsen itu. Beberapa penari dewasa ini membantu menjalankan pertunjukan dan dengan masalah teknis. Bintang utama Kangsen itu penari, pria yang sudah menikah. Begitu juga yang lainnya, seperti pengangkut peralatan rombongan itu, memasang panggung, dan menempatkan instrument gamelan. Menurut Kangsen tanggung jawab tersebut harus diberikan kepada orang yang telah membuktikan rasa responsibility dengan tugas dan kehidupan sehari-hari. Bantuan artistik Kangsen adalah seorang Wandu (waria) yang juga seorang warga Djabung. Orang ini kadang-kadang juga bisa menjadi dalang dan menari sebagian besar bagi perempuan, meskipun tidak secara eksklusif. Ia juga menguasai tarian dan kostum memeriksa isyarat. Kedua buruh cukup sering bergabung dengan rombongan ludruk  di dalam atau ke luar desa. 
Demikian juga gamelan, merupakan ciri Kangsen yang juga dilakukan di luar pertunjukan. Seorang petani di Tumpang, mantan penari terkenal di dasarkan lokal, juga melekat longgar untuk rombongan sebagai penari dan dalang. Di masa mudanya ia menari tarian Bapang, namun sekarang berangsur menghilang. Saat ini ia tinggal hidup santai antara kelengkeng di dekat reruntuhan candi Jago tua. Ia kadang-kadang bergabung dengan rombongan Kangsen atas dasar sukarela dan membayar biaya token untuk partisipasinya. Dua buruh melakukan kerja keras mengatur bangunan dan mengangkat instrumen gamelan, meskipun tidak ada seorangpun, termasuk Kangsen, tidak mau membantu jika diperlukan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar