KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA |
Melalui kisah Ramayana dan Mahabarata, India
menyebarkan kebudayaan ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Cerita fiksi itu
berusia ribuan tahun ini menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia hingga
sekarang.
Oleh Lusiana
Indriasari
Dari Kompas, 16 Feb 2013- Pada periode klasik Hidu-Buddha, dari Pulau
Jawa muncul cerita Panji yang menyebar hingga ke Thailand, Malaysia, Singapura,
Laos, Myanmar, dan Kamboja. Di tanah asalnya, Malang, jawa Timur, kisah klasik
itu terus dihidupkan oleh wayang topeng.
Dusun
Kedungmonggo tidak ubahnya dusun-dusun lain yang tergempur modernisasi. Di
sepanjang jalan yang menghubungkan Kota Malang dengan Blitar, rumah tembok
bertebaran di antara ladang tebu dan areal persawahan. Antena parabola
menyembul dari beberapa atap rumah.
Di dusun
kecil itu, Tri Handoyo (35) meneruskan tradisi leluhurnya, membuat topeng untuk
pertunjukan wayang topeng Malangan. Bersama kakaknya, Soeroso, Handoyo mewarisi
Padepokan Panji Asmorobangun yang didirikan kakeknya, almarhum Karimoen,
legenda wayang topeng Malangan.
Di atas
tanah seluas 250 meter persegi, Karimoen, mewariskan pendopo kecil dan bangunan
sederhana yang digunakan Handoyo untuk melatih tari, karawitan, serta mementaskan
drama wayang topeng. Di bangunan itu pula, Handoyo bersama Raimun dan Sunarti,
kakak perempuannya, meneruskan pembuatan topeng yang ditekuni Karimoen sejak
tahun 1970-an.
Sebulan
sekali, tiap Minggu Legi (Kalender Jawa), seluruh properti seperti gamelan,
topeng dan kostum pentas dikeluarkan untuk pentas wayang topeng. Kegiatan ini
merupakan bagian dari ritual bersih desa warga Kedungmonggo. Mereka yang ikut
pentas tidak hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak dan orang lanjut usia.
“Kami menyajikan
drama wayang topeng secara lengkap. Ada 30 awak padepokan yang siap pentas.
Durasi pentas disesuaikan, bisa 30 menit atau semalam suntuk,” kata Handoyo.
Beberapa
sanggar dan padepokan seni masih aktif menggeliatkan kesenian wayang topeng,
meski kesempatan pentas tidak seramai masa puncak kejayaan wayang topeng tahun
1930-1980-an.
Di daerah
Tumpang, M Soleh Adi Pramono melatih menari di padepokan seni Mangun Dharma
yang ia dirikan pada tahun 1989.
Sanggar
Galuh Candra Kirana di Jambuwer yang dipimpin Djiono Bardjo aktif latihan sejak
tahun 1958. Di Glagahdowo, ada Mbah Gimun dan Mbah Jakimin yang bertahan dengan
sanggar Sri Margo Utomo sejak tahun 1939.
Sebelum Majapahit
Wayang
topeng Malangan dikenal jauh sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit. Dalam buku Topeng Dhalang di Jawa Timur karya
Soenarto Timoer, tertulis wayang topeng ada sejak abad ke-10 Masehi, yaitu pada
masa Kerajaan Mataram Kuno. Seperti pada wayang kulit, topeng juga mengalami
transformasi.
Topeng
awalnya bukan benda yang berfungi estetika, melainkan sebagai perantara
pemujaan roh nenek moyang. Sebagai bagian dari ritual, topeng tidak ditarikan,
tetapi dipakai untuk menutupi wajah oleh syaman (dukun) dan keluarga yang ingin
bertemu roh leluhur.
Di lingkungan
kerajaan, tradisi itu sudah hilang, berganti dengan pemujaan kepada dewa-dewa. Namun,
di tengah masyarakat, topeng sebagai bagian rtual pemujaan masih hidup. Karena tidak
lagi memiliki fungsi ritual bagi keluarga kerajaan, di istana topeng diadopsi
menjadi seni pertunjukan drama tari wayang topeng.
Drama tari
ini diperagakan para penari dengan memakai topeng bermacam karakter, sementara
dialognya diucapkan oleh dalang.
Ketika
Mataram Kuno dipindahkan ke Jawa Timur akibat bencana gunung merapi, kesenian
topeng terus berkembang hingga masa Kerajaan Kediri dengan Singasari. Topeng “merembes”
keluar dinding istana dan mulai dikenal rakyat jelata.
Ada versi
lain yang mengatakan, wayang topeng digubah pada masa Kerajaan Kediri dan
Singasari sekitar abad ke-11-12 Masehi. Petilasan Kerajaan Singasari ini berada
di wilayah Kecamatan Singasaari, Kabupaten Malang. Keberadaan kesenian wayang
topeng Malangan ada di relief beberapa candi, seperti Candi Badut dan Candi
Singasari.
Soleh dalam Drama Tari Wayang Topeng Malang menyatakan,
pada masa Singasari diperintah oleh Raja Kertanegara (1268-1298), muncul lakon
Panji. Kisah ini bercerita tentang percintaan Raden Inu Kertapati (Panji
Asmorobangun) dengan Dewi Sekartaji. Sebelumnya, wayang topeng mengambil lakon
Ramayana dan Mahabarata.
Ketika
Majapahit berkuasa menggantikan Singasari, wayang topeng dengan cerita Panji
menyebar ke Bali dan ke arah barat. Cerita Panji kemudian dikenal hingga ke
Asia Tenggara.
Ketika Organisasi
Menteri Pendidikan Se-Asia Tenggara Pusat Regional untuk Arkeologi dan Fine Art (SEAMEO-SPAFA) akan mengadakan
Festival Panji Internasional 2-6 Maret 2013, Malang diminta mengirimkan peserta
ke Bangkok.
Keberadaan
wayang topeng Malangan mulai ditelusuri oleh Theodoor Gautier Thomas Pigeaud,
ahli literasi Jawa dari Belanda. Dalam bukunya Javannse Volksvertoningen, Pigeaud menemukan ahli pembuat topeng
bernama Mbah Reni yang bekerja di kantor Kabupaten Malang sekitar 1930.
Pelacakannya
juga menemukan Yai Nata dari Dusun Slelir (1930-an) dan Wiji dari Kopral
(1930-an). Generasi berikutnya dikenal Kangseng dari Jabung (1950-an), Karimoen
dari Kedungmonggo (1970-an), dan Tris dari Tumpang (1980-an).
Yongki
Irawan dari Lembaga Kesenian Indrakila mengatakan, wayang topeng Malangan sulit
berkembang karena pewarisnya sering kali terlibat konflik internal. Diperlukan kecerdasan
untuk bertahan hidup.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar